Friday, August 21, 2015

Apa Iniiiiii?

Oke, cerpen ini mungkin tidak akan memenuhi ekspektasi yang dibayangkan saat melihat judulnya (emang ada yang berekspektasi? -,-). Tapi ini serius lho, november lalu waktu ngetik cerpen ini sampai takut-takut sendiri. brrr~ Tapi emang dasarnya aja yang penakut sih.. sok-sok-an pingin bikin cerita (yang agak) horor. weh.
Dan sebelum ini tambah gak jelas, langsung aja ke inti postingan. Aku mau bawa cerpen lamaku yang ini..
.
.
.

Apa Iniiiiii?



    Sore, suara gemercik air hujan membangunkanku. Udaranya cukup dingin, aku lupa untuk menutup jendela kamarku. Aku bangkit dan menuju jendela yang terbuka. Aku ingin menutupnya sebelum kembali tidur. Jendela dengan jeruji putih berpola bunga khas anak perempuan membuatku bisa melihat keluar dengan langsung saat kaca jendelanya terbuka.
    Dan aku melihatnya lagi. Berdiri di luar sana dengan dress putih sebatas lutut dan rambut yang dibiarkan terurai, di bawah hujan, namun ia tak terlihat basah. Masih dengan tatapan itu. Ia sama sekali tak berubah seperti saat pertama aku melihatnya di kolong tempat tidurku 11 tahun yang lalu. Ku fikir 11 tahun yang lalu ia lebih tua dariku. Tapi sekarang, aku yang menjadi 11 tahun lebih tua darinya.

    “Kak Nana!” Rara, adik kecilku memanggilku.
Seketika lamunan ku tentang kejadian beberapa tahun lalu memudar. Aku menoleh, dan melihat Rara yang sudah berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil kedinginan dengan memeluk boneka teddy bear lusuh favoritenya yang tak pernah ia cuci, karena menurutnya itu akan membuat teddy bear nya flu dan tidak bisa tidur karena menangis seharian.

    “Ada apa?” Tanyaku acuh.

    “Kakak.. temani Rara mandi.” Pinta Rara.

    “Kakak sedang malas. Kenapa tidak minta di temani Teddy bear mu saja, Rara..” Jawabku malas sambil menutup jendela kamarku, kemudian beranjak kembali ke tempat tidur.

    “Teddy bearnya tidak mau ke kamar mandi. Dia takut akan di ambil oleh teman kakak..” Celoteh Rara tidak jelas.

    “Eh! Diam!” Sengitku memotong ucapan Rara sebelum menjadi semakin tidak jelas. “Lagi pula Rara kan sedang sakit. Tidak boleh mandi dulu. sudah ya.. jangan ganggu kakak lagi. Kakak harus tidur. Nanti malam ada kelas malam di kampus.” Lanjutku.
Rara pun akhirnya pergi dengan lesu.

Aku mencoba tidur kembali meski aku sedikit terganggu dengan kalimat Rara barusan. Entahlah..  aku tidak mengerti dengan Rara. Imajinasinya terlalu tinggi. Bahkan Rara pernah beberapa kali mengatakan bahwa aku memiliki seorang teman bernama Nina yang tinggal di bawah pohon mangga di halaman rumah, tepatnya di kebun di samping kamarku dan selalu tidur di kolong tempat tidiurku. Puncaknya adalah Rara mengatakan bahwa Nina masuk kedalam mobilku dan mengikutiku hingga ke kampus, kemudian saat aku pulang Rara menangis histeris karena menurutnya aku telah melepaskan kepala Nina. Saat itu asma Rara kambuh dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Ayah selalu marah saat imajinasi liar Rara keluar. Dan mamahlah yang selalu menjadi pelindung Rara pada saat seperti itu.

                       

    Aku berangakat setelah mengahabiskan mie gorengku. Pukul 19.00 malam ini kelas akan di mulai. Aku mengemudikan jaz merah yang kudapatkan dari ayah saat ulang tahunku yang ke 17 tahun lalu dengan santai. Karena ini masih lebih dari 30 menit sebelum kelas di mulai.
Dan inilah hasilnya. Aku terjebak macet.
    Beberapa pedagang asongan menawarkan daganganya ke jendela-jendela mobil di sekitar lampu merah. Aku hanya melihat-lihat tampa berniat membeli. Seorang pedagang asongan kecil menghampiri mobilku. Ia menawarkan beberapa mainan anak kecil padaku. Jika tega, sebenarnya aku ingin memarahinya. Usiaku sudah terlalu tua untuk memainkan boneka-boneka plastik itu.

    “Adik perempuan kakak pasti akan senang memainkanya.” Ucap pedagang aasongan kecil itu mempromosikan barang daganganya.
Eh? Dari mana ia tahu aku memiliki adik perempuan? Kecil-kecil sudah jago promosi.
Aku hanya tersenyum sembari memberikan uang lembaran 20.000 setelah menerima sebuah boneka plastik darinya yang kemudian ku lempar sembarang ke jok belakang mobilku, tentunya setelah pedagang asongan itu pergi.

                      

    Aku sampai di kelas tepat semenit sebelum ibu Mirna memulai pelajaranya. Aku sangat malas. Tapi sepertinya bukan aku saja yang merasa malas. Hampir semua siswa merasa malas untuk belajar dengan ibu Mirna. Bukan karena kekejamanya saat mengajar, justru ia begitu ramah. Tapi orang-orang bilang ibu Mirna itu aneh. Pada usianya yang hampir menginjak kepala 5, ia masih belum menikah. Beredar kabar bahwa karena hal itu, ibu Mirna menjadi frustasi dan kerap berbicara sendiri. Bahkan bukan sekali dua kali ibu Mirna marah-marah di kelas karena menurutnya kelas sangat berisik. Padahal tidak ada siapapun yang membuat kegaduhan di kelas. Jika saja ibu Mirna tidak mengajar Sosiologi, aku tidak akan hadir pada setiap kelasnya. Masalahnya adalah aku akan sangat membutuhkanya dalam penyusunan skripsi nanti. Huft.... kenapa hiidupku di kelilingi dengan orang-orang aneh? 

                      

    “kelas selesai. Terimakasih semuanya.” Ucap Ibu Mirna mengakhiri kelasnya.
Semua bergegas mengemas buku-bukunya dan pergi pulang. Sama sepertiku, mereka juga tidak ingin pulang kemalaman sampai di rumah.

    “Nana?” suara perempuan memanggilku.
Aku menoleh, dan ternyata itu Ibu Mirna.

    “Iya, bu?” Jawabku sesopan mungkin. Meski aku agak ngeri untuk berbicara langsung dan eksklusif bersamanya.

    “Mari kita berbicara sambil berjalan menuju parkiran saja.” Ajak ibu Mirna.

    “Mari, bu.”

    “Nana, sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu ibu ingin menanyakan tentang orang tuamu.”

    “Ya? Silahkan, bu.” Aku mempersilahkan Ibu Mirna untuk bertanya.

    “Apa kesibukan mereka? Apa mereka jarang tinggal di rumah?” Tanya ibu Mirna.

    “Hm.. Itu. Ayah saya memang sibuk, bu. Ia selalu pulang larut malam karena pekerjaan di kantornya. Tapi mamah saya bukan wanita karir. Ia hanya ibu rumah tangga biasa, dan ia lebih sering tinggal di rumah.” Jelasku.

    “oh.. baguslah. Ibu hanya ingin memnyarankan, jika ibumu memang selalu ada di rumah, sebaiknya kau tidak perlu mengajak adikmu ke kampus setiap kelas malam. Bukankah lebih baik ia dirumah bersama ibumu?” Ucap ibu Mirna.
Aku tertegun. Aku memang tidak pernah mengajak Rara ke kampus. Mungkin ibu Mirna salah faham.
    “Sudah ya.. ibu ingin pulang. Sebaiknya kau juga cepat pulang. Kasihan adikmu menunggu di dalam mobil.” Lanjut bu Mirna.

Aku hanya diam. Berbicara pun aku bingung.
Ku lihat ibu Mirna melambaikan tanganya ke arah mobilku. Dan ku lihat di jok belakang mobilku, ya. Dia memang ada. Duduk diam dengan memeluk boneka plastik yang tadi ku beli di lampu merah.


-Tamat-


Sekian, Thanks for reading. :)

No comments:

Post a Comment