Oke, cerpen ini mungkin tidak akan memenuhi ekspektasi yang dibayangkan saat melihat judulnya (emang ada yang berekspektasi? -,-). Tapi ini serius lho, november lalu waktu ngetik cerpen ini sampai takut-takut sendiri. brrr~ Tapi emang dasarnya aja yang penakut sih.. sok-sok-an pingin bikin cerita (yang agak) horor. weh.
Dan sebelum ini tambah gak jelas, langsung aja ke inti postingan. Aku mau bawa cerpen lamaku yang ini..
.
.
.
Apa Iniiiiii?
Sore, suara gemercik
air hujan membangunkanku. Udaranya cukup dingin, aku lupa untuk menutup jendela
kamarku. Aku bangkit dan menuju jendela yang terbuka. Aku ingin menutupnya
sebelum kembali tidur. Jendela dengan jeruji putih berpola bunga khas anak
perempuan membuatku bisa melihat keluar dengan langsung saat kaca jendelanya
terbuka.
Dan aku melihatnya
lagi. Berdiri di luar sana dengan dress putih sebatas lutut dan rambut yang
dibiarkan terurai, di bawah hujan, namun ia tak terlihat basah. Masih dengan
tatapan itu. Ia sama sekali tak berubah seperti saat pertama aku melihatnya di
kolong tempat tidurku 11 tahun yang lalu. Ku fikir 11 tahun yang lalu ia lebih
tua dariku. Tapi sekarang, aku yang menjadi 11 tahun lebih tua darinya.
“Kak Nana!” Rara,
adik kecilku memanggilku.
Seketika lamunan ku
tentang kejadian beberapa tahun lalu memudar. Aku menoleh, dan melihat Rara
yang sudah berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Wajahnya pucat,
tubuhnya menggigil kedinginan dengan memeluk boneka teddy bear lusuh
favoritenya yang tak pernah ia cuci, karena menurutnya itu akan membuat teddy
bear nya flu dan tidak bisa tidur karena menangis seharian.
“Ada apa?” Tanyaku
acuh.
“Kakak.. temani Rara
mandi.” Pinta Rara.
“Kakak sedang malas.
Kenapa tidak minta di temani Teddy bear mu saja, Rara..” Jawabku malas sambil
menutup jendela kamarku, kemudian beranjak kembali ke tempat tidur.
“Teddy bearnya tidak
mau ke kamar mandi. Dia takut akan di ambil oleh teman kakak..” Celoteh Rara
tidak jelas.
“Eh! Diam!” Sengitku
memotong ucapan Rara sebelum menjadi semakin tidak jelas. “Lagi pula Rara kan
sedang sakit. Tidak boleh mandi dulu. sudah ya.. jangan ganggu kakak lagi.
Kakak harus tidur. Nanti malam ada kelas malam di kampus.” Lanjutku.
Rara pun akhirnya
pergi dengan lesu.
Aku mencoba tidur
kembali meski aku sedikit terganggu dengan kalimat Rara barusan. Entahlah.. aku tidak mengerti dengan Rara. Imajinasinya
terlalu tinggi. Bahkan Rara pernah beberapa kali mengatakan bahwa aku memiliki
seorang teman bernama Nina yang tinggal di bawah pohon mangga di halaman rumah,
tepatnya di kebun di samping kamarku dan selalu tidur di kolong tempat
tidiurku. Puncaknya adalah Rara mengatakan bahwa Nina masuk kedalam mobilku dan
mengikutiku hingga ke kampus, kemudian saat aku pulang Rara menangis histeris karena
menurutnya aku telah melepaskan kepala Nina. Saat itu asma Rara kambuh dan
harus dilarikan ke rumah sakit.
Ayah selalu marah
saat imajinasi liar Rara keluar. Dan mamahlah yang selalu menjadi pelindung
Rara pada saat seperti itu.
Aku
berangakat setelah mengahabiskan mie gorengku. Pukul 19.00 malam ini kelas akan
di mulai. Aku mengemudikan jaz merah yang kudapatkan dari ayah saat ulang tahunku
yang ke 17 tahun lalu dengan santai. Karena ini masih lebih dari 30 menit
sebelum kelas di mulai.
Dan
inilah hasilnya. Aku terjebak macet.
Beberapa
pedagang asongan menawarkan daganganya ke jendela-jendela mobil di sekitar
lampu merah. Aku hanya melihat-lihat tampa berniat membeli. Seorang pedagang
asongan kecil menghampiri mobilku. Ia menawarkan beberapa mainan anak kecil
padaku. Jika tega, sebenarnya aku ingin memarahinya. Usiaku sudah terlalu tua
untuk memainkan boneka-boneka plastik itu.
“Adik
perempuan kakak pasti akan senang memainkanya.” Ucap pedagang aasongan kecil
itu mempromosikan barang daganganya.
Eh? Dari mana ia tahu
aku memiliki adik perempuan? Kecil-kecil sudah jago promosi.
Aku
hanya tersenyum sembari memberikan uang lembaran 20.000 setelah menerima sebuah
boneka plastik darinya yang kemudian ku lempar sembarang ke jok belakang
mobilku, tentunya setelah pedagang asongan itu pergi.
Aku
sampai di kelas tepat semenit sebelum ibu Mirna memulai pelajaranya. Aku sangat
malas. Tapi sepertinya bukan aku saja yang merasa malas. Hampir semua siswa
merasa malas untuk belajar dengan ibu Mirna. Bukan karena kekejamanya saat
mengajar, justru ia begitu ramah. Tapi orang-orang bilang ibu Mirna itu aneh.
Pada usianya yang hampir menginjak kepala 5, ia masih belum menikah. Beredar
kabar bahwa karena hal itu, ibu Mirna menjadi frustasi dan kerap berbicara
sendiri. Bahkan bukan sekali dua kali ibu Mirna marah-marah di kelas karena
menurutnya kelas sangat berisik. Padahal tidak ada siapapun yang membuat
kegaduhan di kelas. Jika saja ibu Mirna tidak mengajar Sosiologi, aku tidak
akan hadir pada setiap kelasnya. Masalahnya adalah aku akan sangat membutuhkanya
dalam penyusunan skripsi nanti. Huft.... kenapa hiidupku di kelilingi dengan
orang-orang aneh?
“kelas
selesai. Terimakasih semuanya.” Ucap Ibu Mirna mengakhiri kelasnya.
Semua
bergegas mengemas buku-bukunya dan pergi pulang. Sama sepertiku, mereka juga tidak
ingin pulang kemalaman sampai di rumah.
“Nana?”
suara perempuan memanggilku.
Aku
menoleh, dan ternyata itu Ibu Mirna.
“Iya,
bu?” Jawabku sesopan mungkin. Meski aku agak ngeri untuk berbicara langsung dan
eksklusif bersamanya.
“Mari
kita berbicara sambil berjalan menuju parkiran saja.” Ajak ibu Mirna.
“Mari,
bu.”
“Nana,
sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu ibu ingin menanyakan tentang orang
tuamu.”
“Ya?
Silahkan, bu.” Aku mempersilahkan Ibu Mirna untuk bertanya.
“Apa
kesibukan mereka? Apa mereka jarang tinggal di rumah?” Tanya ibu Mirna.
“Hm..
Itu. Ayah saya memang sibuk, bu. Ia selalu pulang larut malam karena pekerjaan
di kantornya. Tapi mamah saya bukan wanita karir. Ia hanya ibu rumah tangga
biasa, dan ia lebih sering tinggal di rumah.” Jelasku.
“oh..
baguslah. Ibu hanya ingin memnyarankan, jika ibumu memang selalu ada di rumah,
sebaiknya kau tidak perlu mengajak adikmu ke kampus setiap kelas malam.
Bukankah lebih baik ia dirumah bersama ibumu?” Ucap ibu Mirna.
Aku
tertegun. Aku memang tidak pernah mengajak Rara ke kampus. Mungkin ibu Mirna
salah faham.
“Sudah
ya.. ibu ingin pulang. Sebaiknya kau juga cepat pulang. Kasihan adikmu menunggu
di dalam mobil.” Lanjut bu Mirna.
Aku
hanya diam. Berbicara pun aku bingung.
Ku
lihat ibu Mirna melambaikan tanganya ke arah mobilku. Dan ku lihat di jok
belakang mobilku, ya. Dia memang ada. Duduk diam dengan memeluk boneka plastik
yang tadi ku beli di lampu merah.
-Tamat-
Sekian, Thanks for reading. :)
No comments:
Post a Comment